Friday, August 17, 2012

Silit P(ol)itik

@Asajad

Politik kata yang unik dan aneh. Sesuatu yang bisa diharapkan atau tidak sama sekali. Istilah ini absurd, merupakan disiplin ilmu yang dipelajari hingga orang bisa dianggap sebagai ilmuwan politik. Bisa dipraktekkan sehingga orang bisa disebut politisi. Arti dari gabungan disiplin ilmu bisa mengatakan bahwa Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Politik memang aneh. Menjengkelkan yang membuat orang disebut-sebut dengan istilah kutu loncat. Istilah yang unik jika mengatakan orang sebagai kutu yang bisa meloncat seperti kutu anjing yang loncatannya bisa melebihi tinggi tubuhnya. Meloncat dari satu partai ke partai lain. Partai sebagai sarang kutukah?

Politik bisa dihilangkan huruf “ol” nya jadi kata Pitik. Atau politik jika dibuang kata “Pol” bisa jadi Itik. Politik sebagai proses pembagian kekuasaan dengan sistem partai apakah kemudian berisi pitik dan itik? Ngak juga, ini Cuma bahasa slang aja.

Politik kadang membuat sakit hati. Sakit hati karena merasa dicurangi, ditipu, dimuslihati. Ya mungkin karena itulah cara berpolitik yang saat ini terjadi. Siasat itu menjengkelkan. Sebab kadang tidak tahu tiba-tiba bisa tahu, musim duren yang berubah jadi musim rambutan.

Pembagian kekuasaan dan perebutan kekuasaan dalam politik dilakukan oleh oleh golongan dan partai seolah seperti permainan. Meminjam istilah Johan Huizinga sebagai manusia yang suka bermain (homo ludens). Khususnya dalam ajang perebutan kekuasaan pemimpin daerah, politik menjadi ajang permainan suka-suka. Permainan politik yang menggelitik. Bagi masyarakat mungkin sesuatu yang unik seperti melihat pertandingan sepakbola, ada pemain dan ada pelatih, ada penonton. Masyarakat kebanyakan menjadi penonton, walau suaranya juga dibutuhkan sebagai bagian dari proses demokrasi. Demokrasi sebagai proses, sama halnya politik sebagai proses. Hasilnya adalah kemenangan. Dan yang kalah harus legowo.

Kadang politik menyisakan umpatan seperti Silit Pitik, yang berarti pantat ayam. Aneh tampangnya, agak kotor, tapi banyak orang merindukan, karena silit pitik kalau sudah dimasak atau digoreng rasanya gurih. Orang tua dulu melarang anaknya memakan silit pitik, sebab jangan sampai silit pitik dimakan anak-anaknya, buat dirinya. Sesuatu yang dilarang tapi enak. Selamat menikmati Silit pitik.

 

17 agustus 2012

Monday, April 23, 2012

Hari-hari yang berguguran

asajad

Hari-hari pun berguguran. Sesuatu yang tak pasti. Rintik hujan. Pelan-pelan menetes di atas atap jerami. Mengumpulkan tetes demi tetes air yang biasanya diguyurkan dari langit. Seperti menanti bunga gempol mekar di musim kemarau. Atau mekarnya bunga kangkung di atas air kali. Mungkin juga bunga klorak yang menjadi ungu membiru.

Udara yang dingin membuat kabut itu mengumpul perlahan. Perlahan menetes menjadi embun. Pagi yang nempel di batang pohon pisang. Lihatlah becek itu. Air yang tak bisa diminum. Cukup air mata yang menetes. Angin menjadi asam dan semu. Bubuk meleleh darah. Beku menjadi kuyu. Lalu halau.

Renyai rintik-rintik. Melingkupi dunia semu yang dilematik. Suara burung gelatik dari ketik-ketik yang nyungsep di laptop. Menghalau arus yang sigap. Jatuh meleleh seperti rintik hujan. Luruhan yang menetes. Dari atas yang diharap.

Sisa tebangan pohon yang tumbuh di samping sawah. Menutupi tumbuhan sorgum yang sedang tumbuh. Matahari tetap menyinari daun-daunnya yang runcing. Juga lipatan-lipatan ketiak daunnya yang tersusun. Menyingkap aroma hijau klorofil yang padat.

Orang kecil hanya menikmati apa yang tumbuh di permukaan. Mengharapkan air dari embun-embun yang menetes.

Sedangkan kekayaan yang digaruk dengan mesin-mesin besar, dinikmati oleh segelintir orang. Kekayaan bumi yang dikeruk hanya untuk beberapa orang.

Kaum tertindas yang hanya mengharap uang receh dengan menjaga parkir mobil-mobil mewah yang terparkir di halaman gedung. Memasakkan makanan enak untuk disantap di meja-meja mewah. Mengantarkan minuman. Menyemir sepatu yang sedikit kusam oleh becek di jalanan. Membunyikan kecrekan dari tutup botol di pinggir jalan. Duduk terpojok di jembatan penyerbangan. Kaum lapar yang mengharapkan uang receh dari hasil garonganmu.

2012

Sunday, April 22, 2012

Air beriak tertiup angin

asajad

Di danau yang teduh, sebuah siang terik menantang. Udara menyengat angin semilir menjatuhkan dedaun pohon trembesi. Bulat kecil yang dihiasi bulu-bulu halus. Warna kuning tersaput hijau segar, tanda mulai layu. Daun yang tak lelah memberi berkarung-karung kompos pada tanah-tanah basah di darat maupun di air.

Beberapa buah hitam memanjang yang kering terjatuh dalam riak air kecil. Biji trembesi yang kecoklatan terbungkus di dalamnya.

Beberapa biji trembesi terlihat nangkring di atas daun bambu. Mengayuh dayung ke pinggir danau. Sesampai di tepi, tubuhnya menancap. Mengelilingi tanah hitam yang dihiasi akar alang-alang runcing. Beberapa biji tenggelam di dasar danau, bermandikan lumpur daur. Dan masih ada yang menari di dahan-dahan yang terjulur, hampir menggapai wajah air terlulur.

Di sebelah, rimbun pohon bambu tak lelah menutupi air dengan ribuan dawai panjang. Melalui selipan ranting-ranting tajam, daun itu rebah, sesekali nungging, menbiaskan sinar matahari yang mengelus pontang-panting. Tegak terbungkuk, sebatang kikuk, doyong ke kanan, doyong ke kiri. Mata angin tak lelah diikuti.

Riak air terkadang hadir, pun, suatu waktu tak. Ketika beriak, danau jadi seperti dangkal. Ketika tenang, danau seolah menjadi palung. Ah. Kata siapa?

Riak itu tercipta oleh angin. Atau udara panas yang menggumulinya. Persetubuhan angin dan udara, mencipta riak di permukaan. Dalam atau tidak hanya ilusi semata.

Jangan salahkan danau jika dalam diamnya, beribu daun tenggelam. Angin yang nakal, mencipta riak tanpa sadar. Serpihan-serpihan yang berjatuhan di udara, memberi kenang pada kecipak ikan mujaer yang megap-megap.

Semondol, bibir mujair menyibak riak. Berenang dalam tenang. Tak dalam dia sudah menggapai. Palung dalam danau yang beriak. Tak terasa, sudah terkumpul. Ribuan sembur yang menggumpal keruh berdebur.

Tanah semek dalam lembab. Semburit antara air dan batu. Ikan sememeh penuh dengan kerikil. Ubah kayu menjadi batu. Lekang jadi arang. Uduh odoh jadi tebu. Manis berburit manjur. Panas dalam gelas.

Ombak datanglah pada riak. Agar palung tercipta dalam danau.

2009

Saturday, April 21, 2012

Jurai yang Indah

asajad

Jura yang kau lidas di lidah, menjadi ludah yang jatuh di jurang. Tak ada juri, sebab juragan sedang tidur di atas ranjang berjuraian. Bersama lidi yang ligas di samping lugas. Kapuk randu yang keras memantul pasti. Tempat pembaringan yang penuh peluh. Jangan kapok tidur di kapuk, sebab karat tak bisa membuat karang. Hanya keren yang ditarik dibawahnya, membuat sembelit, antara benang wol yang menjahit gundukan empuknya.

Kasur itu dari karibia. Bersahabat karib dengan kargo terukir kerupuk. Kapuk yang kapok dengan kapak yang ingin menghancurkan kayu. Kapurancang berdendang menyiangi empuknya kapu-kapu. Kapung dikepung dalam keping rongga udara.

Randu itu merindu dalam diam. Rindu dalam rindang daun-daun yang merajuk angin sepoi-sepoi . Rindu merinding di balik dinding. Bukan badai yang ditunggu. Tapi cinta langit yang biru dalam ragam warna yang kenyal merindu.

Seragam tak harus regang. Cukup renggang yang menghabiskan regel. Asmaragama sajalah yang mencipta keragaman senyum yang terkulum manis asam asin. Tambahkan cabe dan terasi, maka kecup terasa kecut, begitupun bibir cumi-cumi yang muram itu sekonyong-konyong mendaki bukit curam yang curai.

Cukil cakil tukil nukil ku nyanyian kukila. Burung mynah yang meringis di ujung ranting. Menyapa pagi ceria di hati. Jangan buru-buru buruh nanti dijus. Buah jambu yang jatuh di tanah. Diwadahi celana cutbrai. Baju kebanggan yang terdiri dari wadah wadal tubuh manusia.

Lahirkan pesta dalam wadat yang menggunung. Memberi percikan cinta dalam laharnya yang hangat-hangat kuku. Waduh, jangan kaku, cinta. Empukkan pipimu dengan bedak dan pupur. Jangan pupus hanya karena angin puputan. Ambil kapur dalam botol pura-puraku. Tuliskan di papan tulis itu beberapa pupuh yang indah bersama debu-debu dan derit goresan kayu yang memekakkan.

Curat mencurat coret, curing coreng menggoreng.

Maret 2008

Wednesday, June 1, 2011

Bercermin di air toilet

@asajad

Siapa sangka, siapa duga, siapa nyana, seorang Tumenggung Paijo tiba-tiba jemudul di malam yang gelap mencari cermin. Cermin yang ada di sekeliling dinding sepertinya tak memuaskan hati untuk menemukan wajahnya.

Di air toilet itulah, dia menemukan wajahnya. Wajah yang merah dan kuyu, bersama degub jantung diiringi musik yang mengalun seumpama gemuruh air terjun. kemudian paijo berkata:

Dalam mimpi yang menerjang gerumbulan awan yang mengembun, mencipta pelangi dan guguran air. Dalam suara penat yang menabrak dinding-dinding kaca, mengayun rambut-rambut sekujur. Dalam gelap mencipta bidadari yang mengelilingi wangi-wangian yang terlulur, dalam jaga atau sadar, entah. Antara hitam dan merah, menari seumpama dayang-dayang berjalan perlahan menapak lantai. Dalam percik-percik air yang bergemuruh di kerongkongan. Air itu tercipta dari saripati buah huldi.

Oh, malam yang begitu gemerlap. Malam yang bertabur kain tisu yang melayang dan sebekan daun-daun pisang yang ada di langit-langit kesadaran. Malam yang bersuara guguran kelewang dan bebatuan.

Dalam gumebyar, saksikan bintang-bintang yang berputar di atas lantai. Bintang yang berkelip warna warni dengan ciptaan cahaya yang berpendar. berputar sehingga pusing. Perpusing sehingga berputar. Dan cermin di air toilet menjadi akhir dari perjamuan tak bertepi itu.

Pada akhirnya di air toilet itu, Paijo diantarkan pada kesadaran. Tidurnya tidak cukup sebentar menghilangkan kesadaran, bahwa dirinya telah ditemani seorang bidadari yang telah pergi ke awan.

Wednesday, April 21, 2010

Secawan Lembut

asajad

Lembut kulitmu halus. Lemek dagingmu terbungkus. Lemet dalam kenyal terbungkus crispi yang renyah. Halwa tercipta dalam setiap hisapan bibirmu. Bungur kokoh tertancap berdiri, ketika sentuhan itu membawa semua rasa tumbuhan bengle. Tumbang perlahan, menyisakan cairan karet yang mengalir dari guratan kayu. Mengobati luka-luka yang tak terasa. Memberi minum dahagaku dalam bengong. Bengu udara melahap nafasku.

Ketika luntur lembutmu masih tersisa kenang. Renyah kripik yang tersisa dalam piramida terbalik. Menerima segala yang terjatuh dalam nampanmu. Walau tak jua kau buang. Dia akan layu jika tak segera kau kembalikan.

Berdiri.... Cepatlah kembali. Sebelum cahaya matahari menghanguskan embun-embun. Dan air matamu mengalir, kau biarkan membanjir. Usaplah saja.

Tapi jika tak mau. Endapkan lemah tubuhmu. Dalam cangkir kristal pernah dipanggang bara api itu. Pernah luluh lantak mencair seperti air, dalam wajan kuning kemerahan. Lelah terbakar, hingga meleleh. Tapi kini, kau lihat kristal itu bening putih, dingin dan penuh lekukan indah. Bercahaya.

Tuesday, April 21, 2009

Tusuk Hatinya dengan Duri

http://twitter.com/asajad

Ketika seekor kunang-kunang berupaya hinggap di tangkai bunga mawar siang itu. Dia terpeleset dan terjatuh dari undakan tangganya. Di bawahnya kolam renang yang bening dengan latar hijau pepohonan. Menanti untuk diberi tanda pada selembar kertas. Tapi tak kunjung datang, walau mata melihat. Hanya menatap dengan tak jelas, memaki atau cuma cengengesan.

Kemudian kunang-kunang terbang sambil agak berlari. Berjinjit kaki-kakinya untuk tinggal landas. Menenteng ransel hitam yang lusuh. Terbang mengejar pesawat yang mau berjalan, juga dengan berjinjit, dan berguncang ketika menabrak batu. Kemudian kunang-kunang tidur di dalamnya, siang bolong.

Sampai di suatu tempat, kunang-kunang keluar dengan kelelahan. Tidur dalam perjalanan adalah suatu yang tidak biasa baginya. Sebab daun adalah tempat favorit untuk melepaskan penat dan luka. Datang tanpa bawa apa-apa untuk temannya. Karena tidak mampir pada pemberhentian itu. Membeli oleh-oleh sepatu atau makanan yang renyah dari gorengan minyak atau panggangan api neraka.

Namun dia berusaha mendatangkan kegembiraan dengan membeli madu satu botol buat saudaranya. Seolah itu adalah buah tangannya.

Kegembiraan itu tidak lama. Sebab duri terus menancap di hati. Tapi tak membuatnya mati. Karena tiap hari duri itu adalah langganan bagi kebahagiaannya. Mampir setiap ada kebahagiaan datang setitik. Kemudian datang lagi rasa sakit ketika duri itu menancap dengan tajam menghunjam, hampir merobek jaringan hatinya.

Duri yang terus menerus menancap di ulu hati. Membuat rasa sakit yang berkepanjangan. Padahal dia mengharapkan ada aliran sungai yang mengalir perlahan dan menciptakan suara-suara yang berirama manis dalam hati. Padahal dia mempunyai mimpi agar duri itu menjadi setangkai bunga mawar. Walau pun berduri tapi wanginya mengharumkan langit-langit hatinya.

Sebab tusukan durimu tak akan membuatnya mati. Dia tumbuh dan berakar. Meracuni hati dengan rasa sakit yang tak terperi. Walau tak akan mati.

2009