Friday, March 21, 2008

Tempayak di Ujung Sulur

asajad

Tanah coklat kemerahan terhampar landai. Pagi masih bersih. Lembut kabut bertengger di kacapiring. Cericit burung cipret, mengais daun-daun pohon juwet. Matahari bersinar perlahan, mengintip dari jajaran daun pohon yang jejungkrak di arah timur. Tersembul malu-malu sambil menyebar hangat di bibir katak yang nangkring di batu hitam.

Markolah datang ke situ bersama sapi kurusnya. Dua sapi yang kelihatan tulang pantatnya. Sehari-hari diberi makan jerami kering. Menguning sehabis ditebang dengan sabit, dibanting ke tumpukan kayu, agar rontok bulir-bulir, dan diayak bersama angin siang hari. Sesekali menjambret rumputan yang melambai di pinggir pematang dengan tidak leluasa.

Gaharu dipasang di punuk dua sapinya. Menyeretnya terengah-engah. Meneteskan liur. Iler jatuh ciptakan ciprat pada lumpur yang diaduk dengan mata besi. Seperti bubur, tanah menggeliat lembut, siap ditanam padi kembali.

“Malas sekali sapiku hari ini” Markolah mendesah empuk.

Cemeti diangkat, diayun ke pantat, kecoprat, sapi melenguh. Ekor kipat, menampar wajahnya. Jatuh caping, ditangkap lumpur. Sapi bergerak teratur. Mengikuti kendali kayu yang dipegang gemetar.

Sedang tali yang mengikat mulut dan hidung, ditarik kencang. Mengarahkan dengus di hisapan asap klobot jagung yang mewarnai wajah Markolah. Cahaya sinar pagi yang renta berpupuh udara.

Dalam bersih dan kotor itu, sapi mendengus. Berjalan berat menarik badan dan kaki yang berlumur, terpendam dalam landas. Menarik garu, menyisir rumput liar, menyibak tanah, menggali humus.

“Mungkin belum sarapan kamu?”, tanya Markolah, agak terbatuk.

Ketika keluar dari kandang belakang rumah, suasana masih gelap. Sapinya memang belum menyentuh jerami basah itu. Sebab kemarin beberapa lalat dari pasar membuat sarang di sana. Menelorkan biji-bijian kecil, dan menyebar tempayak di ujung sulur. Kepalanya tempelak, melihat kerajaan yang dibangun.

“Mending ngak makan”, kata sapi, dalam hati.

Seperti tawaf, sapi memutari kubangan sawah berpuluh kali. Lelah hinggap tak diharap. Mengeluh dalam kelu, jemu jemari belau. Mata berkejap terselip beledang. Suara cemeti belegar tak henti.

“oh..... hujan, datanglah kemari.”, doanya dalam hati.

2008